Title : Let’s Fly
Author : RLight_Kira Raysen
Genre : General
Rated : PG
Fandom : - B1A4 (All member)
- Choi Joon Ha (Joon-ha)
- Kim Seung Min (Seungmin)
- Jung Mi Gyung (Migyung)
- Sung Yong Hwa (Yonghwa)
- Han Hye Kyung (Hyekyung)
-Oneshoot-
“Pelanginya indah ya.” tunjuk seorang laki-laki.
“Kau gila? Pelangi sekecil itu dibilang indah.” kata seorang dengan cetusnya sampai roti yang diselainya rusak berantakkan.
“Kau itu kenapa seh? Ditanya marah-marah terus. Cepat tua baru tau rasa lho!” canda laki-laki itu.
“Bukannya gitu. Diriku malu punya teman kayak dia. Lihat dia! Cengar-cengir sendiri sambil lambai-lambai kayak orang gila.” jawab orang itu.
“Hahh?!?!” respon laki-laki itu dengan melihat temannya yang sedari tadi duduk dengan lambai-lambai tak jelas.
Laki-laki itu bernama Baro. Dia begitu menyukai alam di udara. Memiliki impian mempunyai sayap agar bisa bermain dengan burung-burung disana. Seseorang yang malu dengan temannya itu bernama Jinyoung. Dia malu mempunyai sahabat yang memiliki impian yang tak jelas ataupun kelakuan yang aneh dari temannya itu. Tapi percaya atau tidak percaya dan mau atau tidak mau itulah takdirnya. Dan orang yang membuat Jinyoung malu itu adalah Sandeul. Dia mulai tidak mempunyai rasa malu saat dia menonton drama aneh di rumah CNU. Akan tetapi semua anak perempuan disekolah menyukai apabila Sandeul melakukan itu dari pada hanya berdiam diri dan tidur seharian.
“Pastanya? Patah!” kata seorang laki-laki dengan melihat pastanya patah satu per satu.
“Aaa! Terlalu matang. Makan punyaku. Lagi pula pastanya terlalu pedas.” beri laki-laki disampingnya.
“Haaaa!! Terima kasih. Akan aku ganti beberapa tahun lagi.” jawabnya gembira dengan memeluk temannya itu.
“Kau itu! Kau kira aku tidak ikhlas memberinya kepadamu? Ikhlas tau. Gak pakai ganti. Apalagi mau diganti beberapa tahun lagi.” balas temannya.
Tak lama dari luar kantin begitu ramai. Dari keramaian itu keluarlah Jinyoung yang hawa badannya berapi-api dan Baro yang menggeret Sandeul yang sedari tadi mulai dari taman sampai kantin dikerubung oleh siswa perempuan.
“Nah ini tawanan kita. Mau diapakan ini? Dimasak apaan? Mumpung dagingnya enak ini, bersih lagi. Di buat masak sayur asam kayaknya enak.” tanya Jinyoung dengan rasa marah.
“Kok gitu Jin-hyung? Ngiri ya? Ngiri ya? Hahahha.” canda Sandeul dengan mencolek hidung Jinyoung.
“Gak pakai toel-toel hidung kenapa. Diriku gak akan ngiri dengan dirimu! Mungkin dirimu yang iri dengankukan? Atau kalau gak gitu cinta denganku?” balas canda Jinyoung.
“Bbbuurrsshh. Iri? Cinta? Dari sisi mana lagi aku bisa iri ataupun cinta denganmu? Lagi pula aku masih normal.” tanya Sandeul sampai tersedak jus anggurnya.
“Tadi toel-toel.” jawab Jinyoung sinis dengan memakan bakso tanpa menghiraukan.
“Oh ya. Dari tadi aku gak lihat Gongchan. Dimana dia?” tanya Baro.
“Pastanya terlalu matang. Komen pastanya patah-patah. Demo kali ke penjaga kantin.” jawab CNU.
“Neeee???” respon Baro kaget.
Bel sekolah pun berbunyi. Waktu untuk pulang. Jinyoung, CNU, Baro, Sandeul, dan Gongchan berencana untuk pergi ke festival taman bermain. Sebenarnya Jinyoung dan CNU tidak mau ikut ke festival itu. Tetapi karena rengekkan dari Sandeul dan Gongchan, mereka menjadi tak tega dan dengan terpaksa mereka harus ikut. Tak perlu kaget dan tak perlu heran. Ini memang sudah kebiasaan. Baro, Sandeul, dan Gongchan menaiki komedi putar dengan membawa permen kapas mereka masing-masing. Jinyoung dan CNU hanya berdiam diri duduk dibangku yang tak jauh dari komedi putar.
“Kita bagaikan orang tua yang mempunyai anak kelainan jiwa ya.” komentar CNU lemas.
“Iya. Dan aku akan jadi ayahnya.” balas Jinyoung.
“Kalau kau ayahnya. Lalu siapa ibunya? Aku? Ogah.”
Malam pun tiba. Mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Jarak rumah mereka tak begitu jauh. Saat tiba dirumah, Jinyoung lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur. Tak lama HPnya pun berdering.
Maaf ketua OSIS.
Laporan itukan sudah setahun yang lalu.
Untuk apa?
Lagipula laporan itu ada di ruang OSIS.
Di lemari bagian bawah.
‘Ketua OSIS? Sejak kapan diriku dipanggil ketua OSIS? Joon-ha? Benar juga, tadi dia pinjam ponselku. Memang gak modal ketua OSIS itu.’
Maaf aku tidak Joon-ha.
Aku Jinyoung.
Anak 2-1.
Siapa kamu?
Jinyoung pun beranjak dari tidurnya dan langsung mandi. Saat keluar dari kamar mandi, dilihatnya HP menyala. Saat dilihatnya terdapat 15 panggilan masuk dan 7 pesan masuk. Di list panggilan terdapat nama ‘Sandeul’ dan ‘CNU’. Jinyoung pun memanggil balik ke nomor Sandeul.
“Apa?” tanya Jinyoung.
“Ayah! Lama banget angkat telfonnya. Bisa ke taman kota? Anak-anak ada disini.” ajak Sandeul.
“Ayah? Kata siapa aku ayahmu? Tadi aku baru mandi. Lagi pula kitakan habis dari taman, masak sekarang ke taman lagi?” jawab Jinyoung dengan membereskan buku-bukunya.
“Dari ibu CNU. Tadikan dari taman bermain. Sekarang taman kota. Jadi beda. Suasanannya saja sudah beda kok. Ikut ya!” suara Sandeul yang hamper mengeluarkan air mata.
“Mau nangis? Ah ya, aku datang. Tunggu!” balas Jinyoung dengan rasa ibanya.
Saat Jinyoung mematika telfonnya. Dia mengecek pesan masuknya. 6 dari 7 sms itu dari Sandeul. Dan 1nya lagi dari teman ketua OSIS.
Oh. Salam kenal.
Aku Kim Seung Min. Anak 2-5.
Maaf saya kirim pesan kepadamu.
Bisakah aku meminta nomor asli Joon-ha?
Dia sering ganti nomor.
Terima kasih.
Salam kenal juga.
Nomor Joon-ha memang sering ganti.
Mungkin kamu bisa menggunakan nomor ini.
+8279000108508
Itu nomor kakaknya.
Jinyoung pun mengambil jaketnya dan pergi keluar. Saat diperjalanan dia merasa kedinginan dan sempat bersin. ‘Sial. Awas saja nanti. Kalau aku sakit. Aku suruh tuh si Sandeul kerokin aku’. Walaupun musim dingin sudah berakhir, Jinyoung terkadang masih bingung. Kenapa pada saat memasuki musim semi, angin musim dingin masih ada? Di lihatnya awan diatas. Begitu banyak bintang bertaburan diatas dengan ditemani sebulat bulan yang bersinar. Jinyoung pun berjalan dengan kepala diatas. Dan tak ada yang disangka, Jinyoung hampir beberapa kali menabrak orang dan kucing yang melintas. Sempat dia menginjak ekor anjing. Dan akhirnya Jinyoung dikejar oleh anjing itu, sampai akhirnya dia harus sembunyi dibelakang rumah yang sangat kumuh. Di taman dia berpenampilan acak-acakan bagaikan orang baru bangun tidur bertahun-tahun yang tak terawat.
“Jin-hyung? Kau tak apa? Kelihatan seperti orang gila. Bau lagi.” komentar Gongchan.
“Masih nanya lagi. Dikejar anjing. Tanggung jawab dong.” pinta Jinyoung dengan nada merengek.
“Maafkan aku Jin-hyung. Aku gak bermaksud gitu. Kalau kau mau kita ke toko baju. Aku yang belikan. Aku yang tanggung jawab.” kata Sandeul.
“Anak ini kesambet apa ya?” tanya Baro dan CNU serentak.
“Lalu aku harus berangkat ke toko itu dengan begini?” tanya Jinyoung dengan mengangkat baju bahunya.
“Mau gimana lagi? Kamu mau naked sampai di toko baju?” respon Sandeul.
“Hahaha.” tawa Baro, Gongchan, dan CNU.
“Ayo!” sentak Jinyoung.
‘Pasrah. Takdir.’
Saat ditoko mereka mengambil beberapa baju untuk Jinyoung. Seperti memilihkan baju pangeran untuk acara kondangan. Tumpukan baju satu per satu diambil oleh teman-teman. ‘Ini temanku yang gila apa akunya yang gila ya?’. Akhirnya Jinyoung mendapatkan baju yang pantas olehnya. Jaket berbulu dibagian leher dan memiliki kancing disana sini. Dibagian ujung tangan memiliki kerah kotak-kotak yang begitu halus. Dan juga tidak terlalu panjang seperti jaket yang sebelumnya dipakai oleh Jinyoung. Hangat dan nyaman. Seperti biasanya pada malam hari. Mereka semua menemani Baro dan Gongchan ketempat salon hewan peliharaan. Menemani Sandeul dan Baro membeli aksesoris. Mencari buku untuk CNU dan Jinyoung. Dan makan es krim bersama di CafeRu.
Embun pagi menetes dari pucuk daun di pohon. Burung-burung mulai berkicau. Angin pagi yang masih segar. Dan seorang pangeran tidur masih tidur dengan boneka kelinci pinknya di atas ranjang berwarna pink pula. Dengan masih bermimpi dia berbicara sendiri dan akhirnya dia terjatuh dari ranjangnya. “Glodak”
“Aduh!” katanya.
“Jinyoung jelek! Jangan ganggu! Kalau ngiri bilang!” katanya dengan melempar bantalnya kearah kaki meja yang keadaannya masih tertidur dibawah alam sadarnya.
Tak lama pintu pangeran tidur itupun terbuka.
“Sandeul, bangun! Ada temanmu!” kata seorang wanita yang begitu lembut membangunkan Sandeul.
“Nanti ma! Jinyoung jahat ma!” katanya yang enggan membuka mata.
“Lho? Mana ada Jinyoung? Kamu ngigo? Temanmu sudah datang!”
“Hah?!?! Ngigo!! Aigooo…” jawab Sandeul kaget dan langsung beranjak dari tidurnya.
Sandeul lalu lari turun menuju ruang tamu. Dilihatnya seorang laki-laki dengan memakai baju kaos dan celana training. Lengkap dengan handuk kecil yang dilingkarkan ke lehernya dan sebotol air minum. Saat Sandeul menyapanya, laki-laki membalikkan badannya yang ternyata Gongchan.
“Hee?? Dikira siapa? Ada apa?” tanya Sandeul yang lalu duduk di sofa.
“Ayo bersepeda ditaman.” ajak Gongchan.
“Kau mau menurunkan reputasiku? Aku gak bisa naik sepeda.” jawab Sandeul cetus.
“Ah ya ya. Aku lupa. Kalau gitu jogging saja.” ajak Gongchan lagi.
“Tunggu aku mandi, ganti, sikat gigi. Yang sabar ya.” pinta Sandeul.
“Pasti lama ini. Pasti.” ramal Gongchan.
Saat ditaman Gongchan dan Sandeul berlari-lari kecil dan melihat-lihat sekeliling taman. Begitu bersih dan sejuk. Embun-embun masih terlihat. Burung berkicau dan suara air mancurpun begitu indah. Gongchan dan Sandeul pun berencana untuk membeli es krim. Tak disangka Sandeul saat membeli es krim, dia melihat Jinyoung dengan anjing kecilnya. Gongchan dan Sandeul pun berlari menuju tempat Jinyoung. Tetapi saat Sandeul berlari, dia tersandung dan tersungkur di depan kaki seorang perempuan.
“Aduh.” rintih Sandeul.
“Sandeul!” teriak Gongchan.
“Aduh! Gongchan kau dimana?” teriak Sandeul lalu berusaha berdiri dan membersihkan diri.
“Ceroboh kau.” jawab Gongchan.
“Kenapa kau tidak menolongku? Malah diam.” kata Sandeul untuk perempuan itu.
“Maafkan aku.” jawab perempuan itu.
“Ahh.. kau itu…..!” balas Sandeul terpotong dengan melihat wajah perempuan itu.
“Cantik!” kata Sandeul dan Gongchan.
“Hah?!?! Kalian bicara apa?” tanya perempuan itu.
“Tidak, tidak. Namaku Sandeul. Namaku Gongchan. Salam kenal.” jawab mereka.
“Oh. Namaku Jung Mi Gyung. Salam kenal.” balas perempuan itu dengan berjalan melalui Sandeul dan Gongchan.
“Eh hei. Bolehkah aku minta nomor ponselmu?” tanya Gongchan.
“Ini.” mata perempuan itu dengan memeberikan kartu namanya.
Mereka memandangi perempun itu dari belakang. Melihat perempuan itu tertawa dan berjalan. ‘Sungguh manis’ (kata Gongchan). ‘Sungguh menawan’ (kata Sandeul). Merekapun menyadarkan diri dari lamunan itu. Dan teringat atsa tujuan pertama mereka. JINYOUNG. Dimana dia? Mereka pun mencari Jinyoung. Mereka berlari menuju tempat pertama mereka lihat Jinyoung. Jinyoung tidak berada disana. Mereka mencari keseluruh taman tapi tidak ada. Mereka pun menyerah dan bersandar di sebuah bangku yang bersebelahan dengan bangku Jinyoung.
“JIN-HYUNG?!?!” kata mereka keras.
“Heh? Kalian? Kenapa ada disini?” tanya Jinyoung dengan menoleh sana sini.
“Jin-hyung. Kita mencari dimana-mana. Tapi gak ada.” kata Sandeul dan pindah didekat Jinyoung.
“Iya Jin-hyung. Oh ya. Kenapa Jin-hyung noleh sana-sini. Kena penyakit ayam ya?” tanya Gongchan yang ikut pindah kedekat Jinyoung.
“ Penyakit ayam? Aku gak nyangka saja bisa ketemu kalian ditaman. Kaliankan suka bangun siang kalau hari libur.”
“Lupa denganku kalau aku suka olahraga?” balas Gongchan.
“He?? Iya ya. Ada Gongchan. Aku lupa.”
“Oh ya Jin-hyung tadi aku kena serangan jatung.” kata Sandeul dengan cengar-cengir.
“Hah?!?”
“Dan aku kena panah.” tambah Gongchan.
“Eh? Serangan jatung? Kena panah? Maksudnya apa?” tanya Jinyoung kebingungan.
“Kita berdua kena cinta.” jawab mereka berdua serentak.
“APA?!?! dengan siapa?” Jinyoung kaget.
“Jung Mi Gyung. Itu namanya.” jawab Sandeul.
“Manis, cantik, putih.” Tambah Gongchan dengan wajah memerah.
“Jung Mi Gyung? Kalian ketemu dimana?”
“Di taman.”
“Hahaha.” respon Jinyoung.
“Kenapa Jinyoung? Kau sakit? Ada apa?” tanya Gongchan dengan memegang dahi Jinyoung.
“Dia sepupuku. Aku mengajaknya dia kemari untuk lihat kesehatan anjingku. Dia seumuran dengaku tapi sudah bisa merawat hewan peliharaan.” jelas Jinyoung.
“Jangan bercanda. Masak sepupunya bisa secantik itu tapi dirimu sejelek ini.” ejek Sandeul.
“Apa kau bilang? Sini aku bunuh. Kubuat jadi pepes ikan baru tau rasa kamu.” balas Jinyoung.
Di sebuah restaurant seorang laki-laki menikmati makan malamnya. Lalu dipikirannya muncul sebuah keinginan. Ingin memakan sepiring urap dan ayam goreng bumbu kari. Diapun memanggil pelayan restaurant itu. Dan memesan makanan itu. Tetapi saat dia tanya kepada pelayannya tentang menu itu, pelayan hanya menjawab ‘Ada. Mohon ditunggu’. Laki-laki itu pun tidak sabar untuk menyantap kedua makanan tersebut. Saat makanan itu tiba di meja laki-laki itu. Dilihatnya tidak sama dengan apa yang dipesannya. Urap menjadi salad. Dan bumbu kari menjadi bumbu rujak. Lalu dia pergi meninggalkan restaurant itu dengan rasa kecewa.
“Tuan!” panggil seorang pelayan.
“Apa?” kata laki-laki itu dengan nada marah.
“Tuan belum bayar.” pinta pelayan itu dengan sopan.
“Gimana saya mau bayar, makanan yang saya pesan tidak seperti yang saya inginkan.” Jawab laki-laki yang bertambah marah.
“Minumnya?” dengan menunjuk sopan kearah minum laki-laki itu.
“Oh ya.” responnya malu.
Saat laki-laki itu berjalan keluar restaurant, tiba-tiba seorang lelaki menabraknya hingga jatuh.
“Mas! Kalau lihat pakai mata dong mas! Gak bisa lihat?” tanya laki-laki yang baru keluar restaurant.
“Maaf mas, saya buru-buru!” jawabnya dengan memegang dompet wanita.
“Copett!! Itu copet mas!!” kata seorang perempuan dari kejauhan.
“Hah?!?! Mas copet? Sini balikkin. Apa perlu saya gebukin atau lapor polisi?” ancam laki-laki itu dengan mengangkat baju copet itu.
“Jangan mas. Ampun saya. Ini saya balikkin.” ampun copet.
Dan akhirnya copet itu lari terbirit-birit. perempuan yang baru kecopetan itu pun terengah-engah karena dia mengejar copet itu dengan sepatu hacking 7cm dan menggunakan gaun pesta.
“Mbak kalau mau ngejar copet jangan pakai gaun. Apalagi pakai hacking setinggi itu.” pesan laki-laki itu dengan member dompetnya.
“Iya mas. Saya itu tadi dari pesta terus kecopetan. Kalau gak dari pesta, saya mungkin tadi juga gak pakai sepatu hacking.” balas perempuan itu.
“Aduh mbak. Kok aku dipanggil mas gak enak gitu didengarnya. Panggil aku Baro. Salam kenal.” kata Baro dengan mengulurkan tangannya.
“Namaku Sung Yong Hwa. Salam kenal.” jabat Yonghwa.
“Aku antar sampai rumah. Takutnya nanti kecopetan lagi.” tawar Baro.
“Gak apa? aku bisa sendiri.” tanya Yonghwa.
“Gak.”
Mereka pun berjalan bersama. Saat di temgah perjalanan, kaki Yonghwa terkilir karena tersandung batu. Baro pun mau tidak mau harus menggendongnya sampai depan rumah Yonghwa. Mereka berbincang banyak hal. Ternyata Baro satu sekolah dengan Yonghwa, tetapi beda kelas. Baro 2-1, Yonghwa 2-3.
Matahari pun terbit. Sinar mataharipun menyinari hingga masuk kekamar seorang lelaki yang dikenal disekolahnya begitu cool. Laki-laki itu hanya menggerutu karena sinar mataharinya memasuki kamarnya.
“Sudah pagi?” tanyanya.
“Mandi! Berangkat sekolah!” seru lelaki itu.
Setelah semua selesai. Dia pun berjalan menuju sekolahnya. Dia begitu menikmati perjalanannya ke sekolah. Dia sudah memiliki perkiraan pukul berapa dia akan sampai disekolah. Berjalan menusuri jalan setapak dengan mendengarkan mp3 dari Ipodnya.
Sesampainya di sekolah.
“Shinwoo!” teriak seorang perempuan dibelakangnya.
“Hyekyung?” kata CNU heran.
“Pagi. Nanti untuk ekskul libur. Kemarin aku mencarimu tapi tidak ada. Aku menghubungimu tapi tidak aktif. Maaf kalau baru memberitahumu sekarang.” Kata Hyekyung terengah-engah.
“Seharusnya aku yang minta maaf. Ponselku memang aku biarkan mati satu hari ini. Terima kasih” balas CNU.
“Ibu!!” sapa Sandeul.
“Maaf aku harus pergi.” kata Hyekyung.
“Ah iya. Ibu? Aku bukan ibumu? Aku gak mau punya anak kelainan jiwa sepertimu!” bentak CNU.
“Ibu. Kau jahat. Ayah, ibu jahat. Lakukan sesuatu.” pinta Sandeul kepada Jinyoung dengan menarik tangannya.
“Dibilang! Aku bukan Ayahmu!” bentak Jinyoung.
“Kalian jahat!” rengek Sandeul .
“Kami memang bukan ORANG TUAMU!” bentak mereka berdua dengan nada yang begitu marah.
“Eh? Iya ya. Aku baru sadar.” respon Sandeul.
Belpun berbunyi. Semua murid memasuki kelasnya masing-masing. Kelas Jinyoung begitu tampak tenang. Begitu pula dengan kelas lain. Tiba-tiba suara pemberitahuan dari OSIS pun terdengar. ‘Bagi yang ikut seleksi olahraga dalam rangka memperingati 100 tahun sekolahan harap kumpul dilapangan. Terima kasih’.
Dalam hati.
‘Joon-ha! dasar gak ngerti waktu. Gak sopan kasih pengumuman saat pelajaran. Memang anak bodoh.’ (Jinyoung)
‘Siapa pula yang mau ikut kayak gituan. Gak penting banget.’ (Sandeul)
‘Gak bisa konsentrasi!’ (CNU)
‘ Siapa ini yang ngumumin? Lulus TK apa lulus playgroup?’ (Gongchan)
‘Ahh! Si Joon-ha apa Gyusong ini? Kalau ngumumin gak tepat banget. Kasian nanti ibu macan marah baru tau rasa.’ (Baro)
Bel istirahat berbunyi. Semua murid keluar kelas. Tidak ada satupun yang berada di kelas.
Di perpustakaan.
“Joon-ha itu memang anak bodoh. Bagaimana dia bisa jadi ketua OSIS?” tanya Jinyoung dengan menaruh buku di rak.
“Entahlah. Mungkin sogokkan.” jawab CNU.
“Yang benar saja. Tapi dia tegas.” Tambah Sandeul.
“Tegas dari mana? Ada informasi malah keluyuran. Dandanan gak karuan juga.” komentar Jinyoung.
“Sudahlah. Adakah topic lain yang bisa kita bahas selain si Joon-ha?” tanya Baro.
“Ada! Aku terkena panah cinta.” jawab Gongchan.
“BOSAN?!?” respon anak-anak.
“Yang lain. Ibumu masak apa? Ayahmu kerja jam berapa tadi? Saudaramu gimana? Bosan juga ya.” kata Jinyoung.
“Ngomong sendiri dia.” balas Sandeul.
“Masak?” ejek Jinyoung.
“Aku ingin punya pacar.” kata CNU memulai.
“Hah?! Apa? sejak kapan kamu ingin itu? Kenapa gak Hyekyung saja?” pendapat Baro.
“Gak mungkin aku bisa mempacarinya. Dia teman sejak kecilku. Gak mungkin aku sendiri yang merusak pertemanan ini.” jawab CNU.
“ Lalu siapa? Jinyoung itu. Dia lagi single lho.” tawar Sandeul.
“Kau kira aku apaan?” tanya Jinyoung dengan nada marah.
“Kita cari saja.” Pendapat Gongchan.
“Ide bagus. Nanti malam kita kumpul di taman lagi.” ajak Sandeul.
Malamnya mereka menepati janji akan berkumpul ditaman. Mereka hanya berduduk santai dan memikirkan perempuan mana yang akan pantas menjadi pacar CNU. Melihat-lihat sana sini. Tetapi tak menemukan. Hamper sebagian besar ditaman orang-orang berjalan bagaikan seorang kekasih.
“Aku bingung!” kata Sandeul.
“Menurutmu bagaimana dengan dia?” tanya Baro dengan menunjuk seekor bebek.
“Hm..” respon CNU.
“Responmu mana? Masak cumak Hmm..?” bentak Baro menghadap CNU.
“Kau itu! Kami sudah niat mencarimu pacar, tapi kau malah main HP. Kirim pesan ke siapa she?” tanya Gongcha heran.
“Sama Hyekyung.” jawab CNU.
“Tuh kan! Kalian memang cocok. Pacarin saja tuh Hyekyung.” kata Gangchan.
“Gak. Gak akan!”
“Kenapa?” tanya Jinyoung.
“Soalnya……….”
Malam itu pun menjadi malam yang begitu penuh tanda tanya dan memerlukan pemikiran. Tak seperti biasanya anak-anak itu bercanda, shopping, minum, ataupun ngklub. Mencari seorang pacar secepat itu memang tidak mudah. Tidak mudah bagaikan membalikkan telapak tangan sendiri. Itu yang dipikirkan Jinyoung. Anak-anak itu pun setuju akan pendapat Baro tentang CNU harus mengajak Hyekyung makan malam disebuah restaurant. Apabila CNU mau.
Malam berikutnya. CNU bingung harus mengajak Hyekyung atau tidak. Akhirnya pun CNU mengirim pesan untuk mengajak Hyekyung makan malam.
Disana CNU sudah mempersiapkan sebuah meja. Dia menunggu Hyekyung yang tidak begitu lama. Di lihatnya seorang perempuan memakai gaun formal berwarna pink bernuansa hitam abu-abu. Dengan rambut dipasang menuju kebelakang. Dan aksesoris yang tak begitu ramai dipakainya.
“Kau tampak cantik malam ini?” rayu CNU.
“Hari ini? Cumin hari ini? Yang kemarin tidak ya?” ejek Hyekyung.
“Tidak. selalu kau cantik.”
“Lalu? Kenapa kau mengajakku kesini? Harus memakai gaun?” tanya Hyekyung.
“Aku…”
“Ya?”
“Aku mau bilang. Aku ingin kau memberi materi selanjutnya untuk ekskul.”
‘Aku gak bisa mengatakan ini’
“Cuman itu? Aku kira mau apa? mungkin sudah tidak ada. Kita mau naik kelas.” jawabnya.
“Oh.”
Pagi yang begitu tenang. Walaupun sekarang sekolah diliburkan. Burung-burung masih seperti biasa. Bernyanyi, bercanda di pagi hari. Embun untuk musim semi. Bunga-bunga masih bermekaran. Rumput terasa baru diguyur oleh hujan. Jauh dari polusi.menatap lagit biru awan putih. Sinar yang begitu besar dari sang surya. Membentuk sebuah garis awan yang begitu lembutnya. Bergerak perlahan dan berubah setiap detiknya.
Di puncak bukit.
“Awan yang indah.” kata Jinyoung.
“Iya.” Respon Baro.
“Kau? Darimana kau datang?” tanya Jinyoung bangun dari tidurnya.
“Aku sudah dari tadi disini. Kau tak menyadarinya?” tanya balik Baro.
“Tidak.” jawab Jinyoung membalikkan badannya.
“Lho? Kenapa kau membalikkan badanmu? Ayo lihat awannya! Indah kan?” ajak Baro.
“Tidak. Aku gak mood.”
“Ayyoo Jin-hyung!”
“Tidak.”
“AYO!!”
“Iya ya. Aku lihat. Ini aku lihat. Memang indah awannya.” Kata Jinyoung.
“Penilaianku terhadap di langit gak salah kan? Memang indah!” jelas Baro.
“Ya.”
“Jin-hyung! Baro!” teriak seorang laki-laki dari belakang.
“Sandeul?” kata mereka.
“Iya ini aku. Aku mengajak Gongchan dan CNU. Lho? Mana mereka?” tanya Sandeul heran.
“Woi.. sini.. bentar beli cendol dulu.” teriak Gongchan.
“Oh ya Jin-hyung. Aku mau tanya. Sepupumu itu sekolah dimana?” tanya Sandeul.
“Gak jauh dari rumahnya.” jawab Jinyoung.
“ Oooo..”
“Woi. CNU gak jadi nembak Hyekyung!” kata Gongchan.
“Lho? Kenapa?” tanya Baro.
“Aku gak sanggup.”
“Aku punya ide.” kata Jinyoung.
“Apa?” tanya Sandeul.
“Buat permohonan di atas bukit ini. Bukit ini sudah kita kenal bertahun-tahun yang lalu.”
“Ide bagus” kata Gongchan.
“Kita urut. CNU, Gongchan, aku, Sandeul, lalu Baro.”
“Semoga aku bisa masuk universitas yang bagus dan aku juga semoga bisa punya kekasih.” permohonan CNU.
“Semoga aku bisa ketemu Yayoon lagi dan pasta ku semoga dirimu gak patah-patah lagi.” permohonan Gongchan.
“Yayoon?” tanya mereka.
“Dia kekasih pertamaku.” jawab Gongchan.
“Tuhan kabulkanlah permohonanku ini. Semoga aku gak punya teman yang gilan dan aku bisa hidup nprmal dan tenang.” permohonan Jinyoung.
“Semoga aku bisa eksis sepanjang masa dan juga semoga Migyung jadi pacarku.” permohonan Sandeul.
‘Gak akan aku ikhlaskan’ (Jinyoung)
“Semoga aksesoris pada tahun ini banyak model terbarunya dan semoga apa yang aku inginkan selama ini bisa terkabul.” permohonan Baro.
“Dan kami memohon, semoga kami bisa selamanya sampai akhir hayat ini.” kata mereka berteriak sekeras mungkin.
“Semoga juga permohonan kita terkabulkan.” kata Gongchan.
Tak beberapa lama setelah mereka mengucapkan permohonan, 5 layang-layang berkibar di lagit biru cerah itu. Mereka percaya bahwa itu tanda akan permohonan mereka terkabulkan dan didengar oleh tuhan. Jadi mulai sekarang mereka pun percaya akan permohonan dan mimpi. Sebanyak kita memohon, sebanyak kita bermimpi. Pasti tuhan akan mendengarnya dan mengabulkan. Tapi, pastikan permohonan dan mimpi itu tidak aneh ataupun tidak pantas untuk umur.
-The End-